TUYUL DIGITAL
Saya sebenarnya mulai membuat aplikasi sudah lama sekali, sejak belum tren android. Handphone saat itu masih “tit-tut” berbasis Java, saya sudah membuat aplikasi trigonometri di handphone, menggunakan ownmidlet. Pengetahuan tersebut saya dapatkan di PPPPTK Matematika tahun 2011, pelatihan Mathematics Mobile Learning. Aplikasi itu pernah saya running ke siswa dan kami belajar bersama. Zaman itu sedikit sekali siswa yang memiliki HP terlebih aplikasi tersebut tidak memerlukan pulsa dan tidak pula jaringan internet.
Aplikasi pembelajaran, seperti juga kalkulator
termasuk apapun aplikasi pembelajaran sekarang bahkan yang dirilis oleh
pemerintah sekalipun seperti Rumah Belajar, belajar.id juga yang digerakkan oleh pihak swasta seperti Ruang
Guru, Quipper, Zenius, Microsoft Teams dan sebagainya bukanlah alat
mencerdaskan siswa. Keliru jika kita berharap “mereka” bisa membuat siswa
cerdas. Aplikasi hanya alat bantu, memediasi guru berinteraksi dengan siswa.
Membantu guru membuat siswa memahami konsep dan konten pembelajarannya. Siswa
cerdas karena mau belajar, rumusan itu berlaku dari dulu hingga saya pensiun
nanti. Kondisi apapun, siswa jika ingin cerdas ya belajar, kali-kali aja jika
pakai aplikasi membantu mereka memahami lebih baik.
Intinya adalah inovasi apapun yang dicipta oleh
guru dalam dunia pendidikan ditujukan untuk membantu, memediasi. Mari kita
bersandar secara ilmiah pada hasil-hasil penelitian yang valid, cerdasnya siswa
berawal dari kemauan dan kemampuan guru berinteraksi. Teknologi hadir tidak
bisa dihindari, dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan jika anda membaca status
saya ini, sesungguhnya anda sedang menggunakan teknologi, sebuah aplikasi bernama
facebook.
Spesifik kita melihat bagaimana maraknya aplikasi
di dunia maya mendatangkan perubahan peradaban manusia saat ini, tidak bisa
dihindari. Dunia kedokteran misalnya, aplikasi android yang dapat diunduh di
playstore begitu banyaknya, membuat pengguna hape bisa saja keblinger, bisa
pula berwawasan. Banyak pasien terbantu tanpa harus mendatangi langsung
dokternya, tanpa bayar biaya konsultasi, bisa dapat sugesti pengobatan berserta
resep medis. Tentu jika kondisi kronis, hal ini tidak berlaku.
Syahdan Ustadz Das’ad Latief diminta oleh Ustadz
Abdul Somad untuk memanfaatkan media sosial melakukan ceramah melalui youtube
dan instagram. Mereka memandang kebermanfaatan, jika ceramah langsung terbatas
penontonnya. Beberapa tokoh agama pun melawan terorisme menghadirkan Islam yang
plural dan moderat membuat aplikasi “cari ustadz id”. Konsultasi agama pun
tanpa perlu sungkan jika enggan hadir di Majelis Ta’lim bisa menggunakan
aplikasi ini, tanpa malu pula bertanya masalah sensitif di depan khalayak.
Media Informasi pun sekarang lebih banyak bergerak
di bidang online ketimbang koran cetak seperti dahulu. Oplah koran menurun
sejak banyak aplikasi penyedia berita secara online yang lebih cepat dan akurat
tanpa menunggu cetak turun besok hari. Aspek kehidupan manusia sudah beralih
pada aplikasi-aplikasi. Lalu apakah karena hampir semua bisa diakses gratis,
penyedia tidak memperoleh uang ?. Tentu saja ketika mereka beralih mereka
akan memperoleh pundi yang lain dan lebih besar sebenarnya dari yang pembayaran
face by face. Dalam dunia maya kita mengenal PPA (pay per action), you like it,
you hit it, you install it, you comment it, you share it, you watch it, semua
uang masuk bagi pembuat / penyedia aplikasi, JIKA DIMONETASI.
Uang dari internet sangat ghaib, bukan hanya
seperti dukun yang mengusahakan kekayaan bagi pasiennya, namun lebih parah dari
pemelihara tuyul. Hampir tidak pernah ada standar baku pembayaran, namun uang
bisa masuk ke rekening tanpa transaksi langsung, masuk aja gitu. Sepertinya
tuyul-tuyul digital bekerja sangat efektif, memantau pemain-pemain online dengan
sangat jeli. Kadang mereka bikin aturan sesuka mereka, namun tidak berhenti
pula pencari pundi bergerak secara kreatif agar tetap dilirik tuyul.
Tapi apakah semua niatnya untuk memikat tuyul ?.
Tentu saja tidak. Namun jika bisa kaya, kenapa tidak mengupayakan, toh halal
dan haram bergerak mulai dari niat. Saya ingat pesan Ust. Das’ad, menutup
konten buruk di internet tidak menyelesaikan masalah, jika kau punya kebaikan
dan bisa melawan keburukan di dunia maya, maka bergegaslah buat konten-konten
kebaikan memerangi keburukan.
Guru pun harus bergerak, membuat aplikasi, kreatif
bekerja berinovasi membuat pendidikan lebih mudah diakses. Terlalu banyak
konten prank dan hiburan yang tidak mendidik tidak dicounter oleh konten
pembelajaran positif dari guru. Jika konten non edukatif bisa memperoleh uang,
kenapa guru tidak boleh dapat uang dari PPA ? dari Mbah Google ?, selain
menyajikan kebaikan juga bisa memperleh keuntungan finansial. Daripada
menggerutu menunggu pencairan berbagai tunjangan, siapa tahu penghasilan
tambahan ini bisa membantu kehidupan guru yang memang gajinya tidak seimbang
dengan kebutuhan hidup.
Saya sendiri masih tetap ingin kreatif, membuat
aplikasi yang membantu saya berinteraksi dengan siswa. Memanfaatkan sosial media
seperti youtube dan facebook menyediakan konten edukasi. Tentu saya memonetasi
kanal youtube saya, sudah 3 ribu subscriber dengan penghasilan hari ini sebesar
680 ribu rupiah sudah dua tahun, belum dapat dicairkan karena belum ambang
minimal 1,3 juta rupiah.
Saya punya hampir 150 video pembelajaran. Teman saya meledek, kok belum bisa sekaya Atta Halilintar, bikin prank teriak ashiiaap
dapat uang banyak bisa gelar pesta mewah mengundang presiden. Teman saya menuduh
saya tidak konsisten. Lah emang iya, bagi saya, konten di youtube hanya buat saya yang
sering lupa, sehingga bikin tutorial dan nyimpan di youtube. Fokus saya bukan
pada finansial, tapi jika kelak dapat uang, takkan pernah saya tolak.
Jangan lupakan tokoh yang kaya raya melalui
aplikasi, beliau adalah Mendikbud Nadiem Makarim yang berhasil bermain hit
google, mengeruk uang google adsense dengan memanfaatkan coding google
map. Gojek menjelma sebagai decacorn Indonesia dengan omset trilyunan per tahun
Kini saya ingin mengembangkan aplikasi-aplikasi yang
dapat membantu dunia pendidikan, mengajak beberapa teman-teman sebagai relawan.
Di sisi lain, biarlah saya jadi “sales”, aplikasi yang bagus pasti saya
promokan, meski saya tidak terlibat di dalamnya. Kekayaan pasti menghampiri
saya, kaya pengetahuan dan kaya empati untuk senantiasa berbagi.
Matangkuli, 13 April 2021
Penulis : Khairuddin Budiman